Fajar Mistik Puncak Suralaya

Matahari Terbit Puncak Suroloyo

Kabut menyambut di pagi buta ketika kami sampai di parkiran depan gerbang menuju puncak Suralaya (baca: Suroloyo). Saya melongok jam di tangan. Waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi. Hampir dua jam kami berkendara dari Jogja menuju kawasan Bukit Manoreh ini mengikuti panduan peta digital. Terakhir kali saya teringat kami sedang berada di jalan menanjak sempit dengan kabut tebal dan hanya mengandalkan lampu dari mobil. Setelah itu, saya tertidur dan terjaga manakala kami sudah di tempat tujuan. Selanjutnya sepanjang hari itu saya tak berkutik manakala teman-teman saya menjadikannya sebagai candaan.

Kami memarkirkan mobil di seberang gerbang menuju Puncak Suralaya dan memutuskan untuk tidur selama satu jam di dalam mobil sambil menunggu waktu subuh datang. Rasanya baru sebentar terlelap saat Ucil membangunkan saya untuk salat Subuh. Kami berdua salat Subuh di sebuah musola kecil di dekat satu-satunya warung yang buka pagi itu. Sedangkan Edi terlihat sudah duduk di dalam warung dengan segelas kopi tersaji di depannya sambil berbincang dengan si penjual. Baru selesai salat saya bergabung dengan Ucil dan Edi yang terlihat akrab sekali berbincang dengan penjual warung dan seorang pengunjung lain. Kami sepakat untuk menikmati kopi sambil menunggu hingga pukul lima pagi sebelum naik ke Puncak Suralaya.

Para pengunjung sudah berkumpul sembari menunggu kemunculan Sang Penguasa Hari. Warna kuning kemerahan terlihat di ufuk timur, tanda mentari akan segera bangun dari tidurnya.
(dok.pri.)

Puncak Suralaya merupakan puncak tertinggi dari barisan Bukit Menoreh. Terletak di Kulon Progo, Yogyakarta, puncak tersebut memiliki ketinggian sekitar 1019 mdpl. Tidak tinggi memang, tapi saat tiba di Puncaknya, pemandangan landsekap empat gunung yang menakjubkan. Di sebelah timur terlihat Gunung Merapi bersebelahan dengan Gunung Merbabu. Sedangkan di sebelah Selatan, terlihat dua gunung kembar, Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Masyarakat sekitar juga menyebut Puncak Suralaya sebagai Kiblat Pancering Bumi – pusat dari empat penjuru, di tanah Jawa. Dianggap begitu karena apabila ditarik garis lurus dari utara ke selatan dan barat ke timur, maka Puncak Suralaya ini berada di titik temunya.

Gunung kembar, Sindoro dan Sumbing, terlihat gagah di ujung selatan. Jarak yang sangat jauh membuat mereka terlihat sedikit samar, tapi tak mengurangi keindahannya. Apalagi dipadu dengan rona merah mentari dan sekumpulan awan di atasnya. Syahdu! (Foto: Dian Pramudita)

Hampir dari setiap tempat di Indonesia menyimpan sebuah cerita rakyat atau mitos di dalamnya. Begitu juga dengan Suralaya ini. Cerita rakyat juga berkembang di sini. Alkisah diceritakan bahwa di abad 18, Puncak Suralaya merupakan tempat tapa brata (semedi) Raden Mas Rangsang setelah mengikuti wangsit yang diterimanya lewat mimpi. Dalam wangsit yang diterimanya, Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo diharuskan berjalan ke arah barat dari Kotagede menuju perbukitan Menoreh ini. Hingga akhirnya sampailah ia di tempat ini untuk melakukan tapa brata. Hal ini ia lakukan agar bisa menjadi seorang pemimpin yang arif dan adil.

Jam di tangan berbunyi beep. Spontan saya mengangkat tangan dan terlihat waktu telah menunjukkan pukul lima. Kami bersiap-siap untuk naik ke Puncak Suralaya setelah mengambil kamera dari mobil dan membayar makanan dan minuman. Tidak seperti hiking di Gunung Andong, Gunung Prau, atau gunung lainnya yang harus hiking beralaskan tanah, di hadapan kami sudah tersedia tangga dari semen yang akan memandu hingga puncak. Tangga itupun tidak banyak. Sekitar 200an tangga saja, jadi bukan merupakan hal berat untuk menuju puncaknya. Kami bahkan sempat beradu cepat dengan berlari saat menaiki tangganya dan akhirnya membuat kami kepayahan hingga nafas tersengal-sengal. Terutama Edi yang belum tidur sama sekali.

Awan menyelimuti dinding-dinding barisan Bukit Menoreh meninggalkan kesan seolah Puncak Suralaya berada di atas awan. Sehingga dapat dimaklumi jika dalam pewayangan tempat ini juga mendapat nama Kahyangan Suralaya. (dok.pri.)

Sebuah pendopo terlihat begitu saya menginjak anak tangga terakhir. Pendopo tersebut tampak tak terurus. Beberapa bagian di ujung atapnya sudah sedikit rusak. Coretan pada dinding pilar pendopo juga memperburuk penampilannya. Beberapa besi pembatas yang mengelilingi pendopo untuk menjaga keselamatan para pengunjung pun hilang. Entah mengapa pemandangan seperti ini masih sering saya temui manakala berkunjung di sebuah tempat wisata di Indonesia. Mengapa banyak orang masih suka meninggalkan kerusakan padahal dia sudah disuguhi keindahan?

Pendopo ini digunakan sebagai gardu pandang oleh para pengunjung. Di sana orang-orang sudah berfoto walaupun mentari belum menampakkan batang hidungnya. Saya mencoba mencari celah di antara kerumunan demi mendapatkan tempat untuk memotret matahari yang akan bangun dari tidurnya beberapa menit lagi.

Rona kuning kemerahan sudah mulai dominan di langit sebelah timur. Kali ini kami tampaknya harus sedikit bersabar karena posisi matahari yang berada tepat di balik Gunung Merapi. Ia seolah tampak malu-malu saat akan muncul, bak seorang aktor pertunjukan yang mengintip di balik tirai sebelum melangkah ke atas panggung. Padahal kami sudah siap dengan kamera di tangan untuk mengabadikan kemunculannya. Begitu ia muncul, semua perhatian langsung terpusat padanya.

Kabut pagi di tebing yang terlihat dari Puncak Suralaya memberikan kesan mistik. Karena itulah saya menyebutnya ‘Mystical Morning‘.(dok.pri.)

Kemunculan mentari serta merta membuat pandangan kami menjadi lebih jelas. Di depan saya terhampar pemandangan lansekap berbalut kabut tipis sejauh mata memandang. Barisan Bukit Manoreh di sebelah barat tampak seperti dinding kokoh yang tinggi nan angkuh. Awan yang berada di bawahnya membuatnya seolah perbukitan tersebut berada di atas awan. Saya melongok ke bawah dan mendapati sisi tebing yang juga diselimuti kabut tipis menguatkan imaji bahwa saya berada di atas awan. Saya menyebut pagi itu dengan istilah Mystical Morning karena aura mistis yang saya dapat manakala melihat kabut tipis tersebut.

Sebuah lampu penerang tegak berdiri tak jauh dari pendopo. Awalnya saya tidak begitu memperhatikan sampai Edi meminta saya melihatnya dengan seksama. Sebuah figur wayang berada di salah satu sisinya menghadap ke arah timur. Walaupun jauh, saya masih bisa mengenali tokoh pewayangan yang identik dengan perut buncit dan kuncung di kepalanya. Tokoh pewayangan tersebut adalah Semar atau Batara Badranaya. Ia adalah kakak dari Batara Guru, penguasa khayangan, dan adik dari Togog, Batara Antaga. Dalam cerita pewayangan, Semar adalah seorang abdi Pandawa yang bijak. Walaupun seorang abdi, Semar sebenarnya adalah orang sakti. Namun karena suatu hal, ia dan kakaknya, Togog diminta ayahnya, Sang Hyang Tunggal untuk turun ke bumi, menjadi abdi Pandawa. Sedangkan Togog menjadi abdi Kurawa.

Tokoh pewayangan Semar – ayah dari Gareng, Petruk dan Bagong, terlihat di dekat lampu penerangan di Puncak Suralaya. Ia diletakkan menghadap ke arah timur. (dok.pri.)

Lalu apa gerangan maksud Semar nangkring di sisi timur lampu penerangan tersebut? Usut punya usut, ternyata masyarakat sekitar percaya jika Suralaya adalah tempat di mana Semar mengasuh tiga anaknya: Gareng, Petruk dan Bagong. Alasan lainnya Semar dipilih karena dia digambarkan sebagai sosok yang bijaksana.

“Temenku bilang dari sini kita bisa melihat Candi Borobudur,” ucap Ucil dalam bahasa Jawa. Sontak saya kaget plus senang karena bisa melihat candi terbesar di dunia tersebut dari atas sini. Kami bertiga lantas berlomba menemukan penampakan candi Borobudur di hamparan lansekap di depan kami. Saya bahkan mengganti lensa agar bisa meneropong lebih jauh. Hasilnya nihil. Kami cuma bisa beranggapan kalau mungkin saja kabut menyelimuti Candi Borobudur sehingga ia tak nampak. Kelak baru saya tahu kalau saya menghadap arah yang salah. Alih-alih melihat arah utara, saya malah melihat arah selatan. Jadi mustahil bagi saya untuk menemukan Candi Borobudur tersebut.

Ucil dan Edi, teman seperjalanan saya memutuskan untuk turun dan kembali mengaspal menuju Kota Gudeg. (dok.pri.)

Warna biru mendominasi angkasa bercumbu dengan warna putih dari awan. Mentari kini sudah terlalu terik untuk kamera. Kabut yang awalnya menyelimuti tebing-tebing mulai menghilang secara perlahan. Mentari tampak menunjukkan kuasanya seiring dengan kemunculannya. Kabut pun seolah tahu diri dan memilih untuk menyingkir daripada melakukan tawar menawar dengan Sang Penguasa Pagi. Begitu juga kami.